Selasa, 31 Agustus 2010

Kolak Mak

Penulis : Fiyan Arjun

"Sudahlah, Mak ndak usah jualan kolak lagi. Lagi pula buat siapa sih, Mak? Bukannya nanti Narto kirimin uang buat Mak tiap bulan kalau Narto sudah bekerja di Jakarta. Sudahlah, Mak lebih baik istirahat saja dan Mak bisa menjalani ibadah Ramadhan kali ini dengan khusyu," kataku panjang lebar saat membantu Mak di dapur sambil membersihkan singkong yang Mak beli di pasar pagi suatu hari. Dimana saat kakiku belum meninggalkan kampung halaman untuk memenuhi panggilan kerja di kota Jakarta.

Mak diam seribu bahasa. Tak memberi jawaban satu pun. Apalagi ucapan yang terlontar dari bibirnya yang mulai kering itu. Aku pun jadi serba salah.

"Mak marah ya sama Narto? Kalau begitu, Narto minta maaf sama Mak," ujarku lagi meminta maaf kepada Mak.

"Bukan begitu, Le. Mak berjualan kolak semata-mata untuk menjalankan mendiang wasiat Ayahmu sebelum meninggal. Ayahmu dulu bilang, Mak tetap harus jualan kolak. Lagi pula, Mak jual bukan semata-mata mencari uang kok, Le, melainkan untuk membantu mereka yang sedang berbuka puasa, terlebih saat sulit mencari makanan untuk berbuka. Dan kolak Mak-lah satu-satunya jadi makanan untuk berbuka."

Aku diam terpaku. Tak ada jawaban lagi yang dapat aku lontarkan untuk Mak. Semua perkataan Mak ada benarnya juga. Aku tak bisa lagi menggugatnya untuk melarang Mak berjualan kolak di depan teras rumah. Berjualan kolak di saat bulan Ramadhan tiba.

***

"Lho, kok kamu melamun saja sih, To. Sudah adzan maghrib tuh. Memangnya kamu tidak mendengar adzan masjid di depan," tiba-tiba suara Seno, kawan sesama kost-anku mengejutkan aku dari belakang. "Oya, nih aku bawakan kolak buat kamu buka puasa," lanjut Seno lagi sambil menaruh kolak di atas meja kecil yang ada di hadapanku.

Aku pun terkesiap. Terkejut. Sontak terkaget saat Seno tiba-tiba sudah menaruh kolak di depan mukaku. Kulihat kolak itu terbungkus rapi dengan plastik putih berdiri dengan tegak merayu untuk segera aku nikmati untuk melepaskan dahaga seharian berpuasa. Tanpa kusadari, kolak itu membuatku teringat dengan kenanganku di kampung bersama Mak disaat aku membantunya membuat kolak di dapur. Terlebih pada saat bulan seperti ini. Bulan Ramadhan tiba. Cukup banyak pesenan, baik dari tetangga yang ingin memesannya maupun bagi mereka yang ingin berbuka dengan kolak Mak.

"Lho, kok belum dibuka juga sih, To. Nanti keburu dingin lho? Bukannya menyegerakan berbuka puasa itu lebih bagus," Seno lagi-lagi memberitahukanku untuk segera berbuka puasa, sehingga membuat lamunanku dengan Mak di kampung halaman hilang sekejap.

"Hmm... Makasih-makasih, No. Maaf, aku nggak dengar kamu," ucapku tergagap kepada Seno.

Seno adalah kawan sekost-anku sejak aku bekerja di Jakarta. Aku mengenalnya saat aku diterima di kost-an, tempat aku berlindung dari sengatan matahari dan terpaan hujan di belantara kota ini. Selama itulah aku menjadi mengenal baik dirinya. Ternyata Seno adalah penghuni lama kost yang aku tempati. Ia tinggal di tempat itu sudah dua tahun lamanya. Bukan itu saja, Seno ternyata senasib denganku, tapi ia lebih tragis. Ia pergi jauh meninggalkan kampung halamannya karena semata faktor kemiskinan yang dilanda keluarga di kampung. Dikarenakan semua sawah serta ladang keluarga miliknya itu habis buat taruhan judi ayahnya semasa hidupnya dulu di kampung. Ia harus menghidupi tiga orang adik-adiknya yang masih kecil serta neneknya yang merawat adik-adiknya itu. Yang membuat aku lebih terkejut, ternyata ia seorang yatim piatu.

"Ya, sudah buka puasa dulu. Aku tahu kamu teringat sama ibu kamu di kampung kan? Aku juga sama kok sama kamu seperti itu. Aku teringat orang-orang yang aku cintai di kampung. Tapi aku bisa menghalau itu semua dengan shalat malam agar rasa rinduku hilang dan berganti dengan do'a untuk mereka. Yuk, kita shalat maghrib, nanti kita tidak ikut jama'ah lagi. Ya, sudah aku wudhu dulu ya, nanti kamu menyusul."

***

Sudah tiga kali puasa dan tiga kali Lebaran aku bekerja di Jakarta. Tapi sekali pun aku belum bisa menapakan kakiku di kampung halaman. Melepaskan rinduku yang sudah menggumpal bagai magma gunung Merapi yang ingin ke luar untuk ibuku di kampung. Bekerja selama tiga tahun membuat aku semakin rindu akan pelukan Mak, apalagi kolak buatan Mak yang tiap kali ia hidangkan dengan dihiasi senyumnya yang teduh untukku. Ah, Mak, maafkan Narto anakmu ini. Narto belum sempat menjenguk Mak di kampung. Do'akan ya, Mak, Lebaran kali ini Narto bisa pulang ke pelukan Mak. Narto sudah kangen kolak Mak.

"Oya, No, tanggal berapa sekarang?" tanyaku pada Seno singkat.

"Memangnya kenapa? Bukannya Lebaran masih lama. Masih dua minggu lagi kan," jawab Seno sambil menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Sedangkan aku, asyik melingkari angka-angka di kalender yang terpampang di atas dinding tembok kost-an.

"Ah, nggak kok, No. Aku cuman bertanya saja. Boleh kan aku tanya?" elakku agar tak ketahuan rinduku yang semakin tak terbendung terhadap orang yang sangat aku sayangi sekali. Mak. Ya, Mak, orang yang selama ini aku impikan dan aku rindukan disaat bulan-bulan seperti ini. Bulan penuh rahmat dan penuh ampunan. Bulan Ramadhan yang keempat kalinya aku menyimpan rinduku pada Mak di kampung.

Ini adalah bulan Ramadhan yang keempat kalinya aku tak bisa bertemu dengan Mak. Keempat kalinya juga aku tak merasakan kolak buatan Mak selama aku berbuka puasa. Seno-lah yang selama ini banyak membantuku menyiapkan. Dan ia pasti tahu bahwa aku sangat suka sekali dengan kolak. Terlebih kolak yang dibungkus plastik putih. Aku sangat menyukainya. Ya, hitung-hitung untuk membunuh rasa rinduku kepada Mak di kampung halaman.

"Eya, No, terima kasih sekali ya atas bantuanmu selama ini. Entah apalagi yang harus aku ucapakan buat kamu. Siapa lagi kalau bukan kamu yang menyiapkan makanan untuk berbuka. Terlebih pekerjaanku yang semakin menyita waktu, hingga aku pun tak sempat sama sekali menyiapkan menu buka puasa buat kita berdua."

"Sudahlah, To. Toh, aku senang kok. Lagi pula, yang penting ibadah kamu tak terganggu, aku pun sudah senang. Bukankah menyiapkan makanan untuk orang berpuasa lebih banyak pahala dan bagus?"

"Eya, benar juga ya, No."

Akhirnya kami berdua pun tertawa bersama-sama. Baru kali ini aku bisa tertawa bersama Seno dalam satu kost-an. Padahal, aku sudah lama mengenal Seno. Itu pun sangat langka aku lakukan disaat bulan seperti ini. Bulan yang membuat aku semakin disibukkan kerja. Apalagi jika minus seminggu Lebaran tiba, aku pun terpaksa harus bekerja lebih dari biasanya. Lagi-lagi aku pasti tak bisa berkumpul berbuka puasa bersama Seno di kost-anku. Begitu juga rasa rinduku pada Mak di kampung halaman.

***

"Kamu sudah siap To pulang ke kampung halamanmu kali ini? Bukannya kamu sudah janji sama Mak kamu bahwa Lebaran kali ini kamu akan pulang?" Seno mengingatkaku lagi sambil menyiapkan makanan untuk berbuka.

"Entahlah, aku tak tahu, No. Tempat aku bekerja tak membolehkan aku pulang di hari raya nanti. Aku diperbolehkan nanti saat seminggu setelah Lebaran tiba. Itu juga aku bekerja karena terpaksa menggantikan kawanku yang kecelakaan dirawat di rumah sakit," jawabku llirih pada Seno yang saat itu merasa prihatin dengan keadaanku. Seno tahu benar bahwa saat itu aku sangat menginginkan pulang ke kampung halaman untuk menjenguk dan melepas rinduku pada Mak.

"Kamu sendiri, No, tidak pulang kampung?" balasku menanyakan kepulangan Seno nanti ke kampung halamannya.

"Kalau aku, tidak, To. Aku lebih baik mengirimkan uang dan pakaian-pakaian Lebaran buat adik-adikku dan nenek di kampung. Toh, Lebaran di kampung dan di sini sama saja. Lagi pula, biaya untuk ke kampung lebih mahal daripada yang kukirim untuk adik-adikku dan nenekku. Lebih baik aku di sini saja."

Lagi-lagi aku mendengar jawaban seperti itu dari mulut Seno. Ia merasa bahwa kepulangannya ke kampung tak begitu berarti bagi dirinya. Baginya, ia sudah berbuat lebih untuk adik-adik dan neneknya di kampung. Itu sudah lebih baik daripada ia nanti harus bersusah payah jika kembali ke Jakarta, dikarenakan biaya dari kampungnya ke Jakarta lebih mahal. Itulah alasannya ia tak mau pulang saat orang-orang merayakan hari kemenangannya selama sebulan penuh itu.

***

Allahu akbar .. Allahu akbar ..

Allahu akbar .. Allahu akbar ..

"Alhamdulillah, kita akhirnya menang juga ya, To. Puasa kita akhirnya lulus juga sampai akhir. Buka yuk?" Seno melonjak kegirangan atas keberhasilannya berpuasa hingga penuh. Lulus sampai akhir di hari raya kemenangan..

"Oh, iya ya," jawabku sambil menatap ke arah kolak yang sudah ada di hadapanku yang seperti biasa Seno bawakan untuk berbuka puasa. Kolak. Ya, kolak makanan yang sama seperti Mak buat di kampung halaman.

sumber : KotaSantri.com