Selasa, 31 Agustus 2010

IBU…, CERITAKAN AKU TENTANG IKHWAN SEJATI…

Seorang remaja putri bertanya pada ibunya: Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati…

Sang Ibu tersenyum dan menjawab…
Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya ….

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran… ..

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa …

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya. ..

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan…

Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca…

….setelah itu, ia kembali bertanya…
” Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?”
Sang Ibupun memberikan bukunya sambil berkata…. “Pelajari tentang dia…”
ia pun mengambil buku itu
“MUHAMMAD”, judul buku yang tertulis di buku itu…..

Segenggam garam dan telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, ia didatangi seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan wajahnya kusam. Keadaan tubuhnya tak karuan. Ia seperti sedang menghadapi sebuah masalah yang sangat menyusahkan hatinya. Begitu bertemu dengan si orang tua yang bijak, ia segera menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi.
Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Begitu tamunya selesai bertutur, ia lalu mengambil segenggam garam dan memintanya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya,” ujar Pak Tua itu.
“Pahit…., pahit sekali,” jawab anak muda itu sambil meludah ke samping.
Pak Tua tersenyum. Lalu ia mengajak tamunya berjalan-jalan di hutan sekitar rumahnya. Kedua orang itu berjalan di hutan sekitar rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan. Setelah melakukan perjalanan cukup lama, akhirnya mereka tiba di tepi sebuah telaga yang tenang. Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, ia mengaduk air telaga sehingga sebagian airnya terciprat membasahi wajah anak muda itu.
“Sekarang, coba ambil air dari telaga ini dan minumlah!” ujar Pak Tua kemudian.
Anak muda itu menuruti apa yang diminta Pak Tua. Ia segera meminum beberapa teguk air telaga. Begitu tamunya selesai mereguk air, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”
“Segar!” sahut anak muda itu.
“Apakah engkau bisa merasakan garam di dalam air itu?” tanya Pak Tua lagi.
“Tidak,” jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. Lalu ia mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarkanlah ucapanku. Pahitnya kehidupan yang engkau rasakan seperti segenggam garam. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu tergantung dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi ketika engkau merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa engkau lakukan untuk mengatasinya. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskan hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu kembali menambahkan nasihatnya, “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Qalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. “
Keduanya beranjak meninggalkan tepian telaga. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan segenggam garam untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya untuk meminta nasihat.

(diambil dari Sabili No.24 Th.IX)

Istriku......

Istriku, sudah lebih dari tiga tahun usia pernikahan kita, sudah lebih dari dua tahun usia anak kita…

Istriku, di tahun pertama pernikahan kita, aku merasakan kegembiraan yang luar biasa. Karena saat itu aku bangga sekali menikah dengan mu. Hubungan kita mesra sekali waktu itu, apalagi semenjak tumbuh buah cinta kita di janinmu.

Istriku, di tahun kedua usia pernikahan kita, aku juga merasakan kegembiraan yang sama. Karena buah cinta kita telah lahir kedunia ini. Seorang bayi mungil yang lucu, cakep, dan menggemaskan adalah sebagai pelengkap kebahagiaan kita.

Istriku, di tahun ketiga usia pernikahan kita aku merasakan banyak hal-hal yang berbeda menyangkut hubungan kita. Engkau sudah mulai berubah, tidak seperti satu atau dua tahun yang lalu.

Istriku, entah apa yang terjadi sekarang pada dirimu. Seringkali aku merasa sakit hati akan perlakuan darimu. Mungkin engkau tidak tahu akan hal ini, karena aku berusaha memendamnya dalam kalbuku saja. Seringkali aku menangis sendiri, dan bersedih hati karena perilakumu itu.

Istriku, engkau adalah bunga dari keluarga kita. Bunga yang harus mengeluarkan aroma wangi setiap saat. Aku telah berusaha menyirami dan memberi pupuk bunga itu, namun aku tidak tahu kenapa aroma wangi itu tidak dapat aku rasakan saat ini.

Istriku, kembali aku teringat akan suatu hadist tentang wanita : “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim )

Istriku, tidak banyak yang aku minta dari mu. Aku hanya menginginkan engkau bisa menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya, dan juga seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya. Hanya itu yang aku inginkan darimu. Aku tidak akan pernah menuntut yang lebih dari itu.

Istriku, engkau adalah perhiasanku. Selayaknya perhiasan adalah benda berharga yang dicintai pemiliknya. Benda berharga yang akan menyenangkan bila aku pandang setiap saat.

Istriku, aku turut bersedih akan perubahan sikap mu.

Istriku, aku selalu berharap, setiap aku pulang kerja dari kantor, aku berharap akan mendapatkan senyumanmu yang manis. Senyuman yang tulus dari bibirmu yang indah. Tapi yang sering kudapatkan hanyalah sebuah bibir yang kaku tanpa jiwa. Sudah seringkali aku mendapatkan hal tersebut.

Istriku, aku tidak tahu bagaimana tanggapan dirimu soal aku. Karena seringkali jika ada masalah sedikit saja, kau langsung diam seribu bahasa. Istriku, engkau tidak pernah meminta maaf kepadaku jika sudah beberapa hari engkau membisu kepadaku.

Istriku, aku sudah paham akan kewajibanku sebagai seorang suami. Aku telah berusaha melakukan itu dengan sebaik-baiknya. Aku juga berusaha memberikan contoh yang baik bagi engkau dan anak kita. Aku selalu mencontohkan kesabaran, keikhlasan tetang hubungan berumah tangga. Aku juga tidak pernah marah-marah dirumah, karena aku tahu bahwa itu adalah contoh yang buruk.

Istriku, aku juga terus berusaha untuk memperbaiki kesejahteraan kita. Aku memang bukan seorang yang bergaji besar, yang dapat membelikan engkau rumah yang indah, mobil yang mewah, dan perabot rumah tangga yang komplit. Namun, aku terus berusaha sekuat tenaga agar aku mendapatkan semua itu.

Istriku, engkau tidak lagi bersikap sabar, engkau tidak lagi bersikap ikhlas dalam melayani suamimu, engkau tidak lagi bersikap lembut jika berbicara denganku. Sifat sekarang adalah sifat seorang yang pemarah, emosianal jika ada suatu hal yang mengganggu pikiranmu, sifat terlalu kekanak-kanakan dalam mamandang beberapa hal.

Istriku, anak kita butuh bimbingan seorang ibu yang lemah lembut, penyayang, penyabar. Anak kita tidak butuh seorang ibu yang pemarah. Anak kita masih kecil, masih berusia kurang dari tiga tahun. Memang anak kita perkembangannya sangat lambat bila dibandingkan dengan anak seusianya, namun anak kita juga butuh sesuatu yang lebih dari sekedar cinta.

Istriku, tulisan ini aku buat karena aku sudah tidak tahan dengan sikapmu seperti ini. Mungkin aku lemah karena aku tidak bisa bertindak tegas, mungkin aku lemah karena aku tidak berani menegurmu. Namun semua itu kulakukan hanya untuk kelanggengan keluarga kita. Aku takut jika aku sedikit keras kepadamu, engkau akan lebih tidak terkendali lagi, dan tentunya akan sangat merusak hubungan kelurga kita.

Istriku, sifat seorang istri yang baik adalah seperti yang sudah dicontohkan Nabi kita :

  1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
  2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
  3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya.
  4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya.
  5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan.
  6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya,
  7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya

Dalam shalat malamku, aku pasti berdoa agar kau bisa berubah. Aku selalu berdoa agar kau bisa menjadi istri yang baik bagi suamimu, dan ibu yang baik bagi anak-anakmu…

istriku, sambil menangis kutuliskan ini…..


Pembantu yang doanya selalu dikabulkan

Basrah, Iraq. Sudah beberapa lama tak turun hujan. Hari itu belum beranjak siang. Terik matahari mulai terasa. Angin musim kemarau berhembus. Angin kering padang pasir menerpa wajah. Orang-orang mulai kesulitan mendapati air. Demikian juga binatang peliharaan yang kelihatan kurus-kurus.

Hari itu penduduk Basrah sepakat untuk mengadakan shalat Istisqa’. Untuk meminta hujan yang sudah sekian lama tertahan. Shalat itu akan dihadiri para ulama Basrah dan tokoh masyarakatnya. Yang langsung akan dipimpin oleh salah seorang ulama pilihan di antara mereka. Nampak di antara para ulama yang sudah hadir Ulama Besar Malik bin Dinar, Atho’ As-Sulaimi, Tsabit Al-Bunani, Yahya Al-Bakka, Muhammad bin Wasi’, Abu Muhammad As-Sikhtiyani, Habib Abu Muhammad Al-Farisi, Hasan bin Abi Sinan, Utbah bin Al-Ghulam, dan Sholeh Al-Murri.

Benar-benar sebuah sholat Istisqo’ yang istimewa. Dihadiri orang-orang terbaiknya. Tentunya dengan harapan agar Allah menurunkan kembali hujan yang ditahan karena dosa-dosa manusia.

Para penduduk nampak berduyun-duyun mendatangi lapangan yang telah ditentukan. Para ulama pun sudah mulai nampak di lapangan itu. Anak-anak kecil yang asyik belajar di tempat pengajian Al-Qur’an mereka, juga nampak berlarian menuju lapangan. Demikian juga para wanitanya. Besar, kecil, laki, perempuan, tua, muda, semuanya tidak ada yang ketinggalan untuk mengikuti sholat. Dengan hanya satu harapan, agar hujan kembali turun.

Sholat dimulai. Dua rokaat sudah. Selesai itu sang imam menyampaikan khutbah dan doa panjangnya. Mengakui segala kelemahan dan kesalahan manusia yang menyebabkan murka Allah. Dan mengharap kembali turunnya berkah hujan dari langit. Karena masih ada orang tua dan binatang yang tidak bersalah ikut menanggung akibat dosa sebagian orang. Doa terus dipanjatkan.

Waktu terus beranjak siang. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Mendung tak kunjung datang. Langit masih terlihat cerah. Matahari semakin terasa terik. Sholat Istisqa’ selesai. Semua penduduk pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah para ulama yang masing-masing bertanya dalam hati mengapa hujan tak kunjung datang. Padahal telah berkumpul orang-orang baik dan pilihan di masyarakat Basrah.

Akhirnya diputuskan untuk menentukan hari lain. Mengulang sholat Istisqa’ berharap untuk kali ke dua ini, Allah mengabulkan doa mereka. Sholat kedua ditentukan. Suasana sholat ketika itu tidak jauh berbeda dengan sholat sebelumnya. Dan kali ini pun belum ada tanda-tanda dikabulkannya doa. Langit masih sangat cerah dengan terik matahari tengah hari. Tanda tanya di hati para ulamanya semakin besar.

Sholat ketiga pun segera menyusul. Semoga yang ketiga inilah yang didengar, begitu harapan mereka. Persis seperti yang pertama dan kedua, sholat yang ketiga pun mempunyai suasana yang sama. Dan ternyata hasilnya pun sama. Hujan masih tertahan entah karena apa. Tanda tanya di hati para ulama Basrah kian menggelayut di dalam hati mereka masing-masing. Tanpa jawaban. Seluruh penduduk dan ulamanya pulang ke rumah dan tidak tahu kapan musim kering itu berlalu.

Tersisa Malik bin Dinar dan Tsabit Al-Bunani di lapangan terlihat berbincang serius. Perbincangan itu dilanjutkan di masjid yang tidak jauh dari tempat itu. Hingga malam datang menjelang. Masjid sudah sepi, tidak ada lagi yang sholat. Karena sudah malam larut.

Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh seorang dengan kulit berwarna gelap, wajah yang sederhana, dengan betis tersingkap yang terlihat kecil, dengan perut buncit. Orang itu memakai sarung dari kulit domba, demikian juga kain yang dipakainya untuk atas badannya. “Aku memperkirakan semua yang dipakainya tidak melebihi dua dirham saja,” kata Malik bin Dinar. Yang menunjukkan bahwa orang itu hanyalah orang miskin yang tidak memiliki banyak harta.

Malik bin Dinar mengamati gerak-geriknya, ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh orang hitam itu di larut malam seperti ini. Orang itu menuju tempat wudhu. Setelah selesai wudhu, seperti tanpa mempedulikan Malik dan Tsabit yang mengamatinya dari tadi, orang itu menuju mihrab imam kemudian sholat dua rokaat. Sholatnya tidak terlalu lama. Surat yang dibaca tidak terlalu panjang. Ruku’ dan sujudnya sama pendeknya dengan lama berdirinya.

Selesai sholat, orang itu menengadah tangannya ke langit sambil berdoa. Malik bin Dinar mendengar isi doa yang disampaikan dengan suara yang tidak terlalu tinggi tapi terdengar. “Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya.”

Setelah mendengar itu Malik bin Dinar berkata, “Belum lagi dia menyelesaikan perkataannya, angin dingin pertanda mendung tebal menggelayut di langit. Kemudian tidak lama, hujan turun dengan begitu derasnya. Aku dan Tsabit mulai kedinginan.”

Malik dan Tsabit hanya bisa tercengang melihat orang hitam itu. Mereka berdua menunggu hingga orang itu selesai dari munajatnya. Begitu terlihat orang itu selesai, Malik menghampirinya dan berkata, “Wahai orang hitam tidakkah kamu malu terhadap kata-katamu dalam doa tadi?” Orang tdai bertanya, “Kata-kata yang mana?” “Kata-kata: dengan kecintaan-Mu kepadaku,” kata Malik. “Apa yang membuatmu yakin bahwa Allah mencintaimu?” sambung Malik. Orang itu menjawab, “Menyingkirlah dari urusan yang tidak kamu ketahui, wahai orang yang sibuk dengan dirinya sendiri! Dimanakah posisiku ketika aku dapat mengkhususkan diri kami untuk beribadah hanya kepada-Nya dan ma’rifat kepada-Nya. Mungkinkah aku dapat memulai hal itu jika tanpa cinta-Nya kepadaku sesuai dengan kadar yang dikehendaki dan cintaku kepada-Nya sesuai dengan kadar kecintaanku.”

Setelah berkata itu, dia pergi begitu saja dengan cepatnya. Malik memohon, “Sebentar, semoga Allah merahmatimu. Aku perlu sesuatu.” Orang itu menjawab, “Aku adalah seorang budak yang mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah tuanku.”

Akhirnya Malik dan Tsabit sepakat untuk mengikuti dari jauh. Ternyata orang itu memasuki rumah seorang yang sangat kaya di Basrah yang bernama Nakhos. Malam sudah sangat larut. Malik dan Tsabit merasakan sisa malam begitu panjang, karena rasa penasarannya untuk segera mengetahui orang itu di pagi harinya.

Pagi yang dinanti akhirnya tiba. Malik yang memang mengenal nakhos itu segera menuju rumahnya untuk menanyakan budak hitam yang dijumpainya semalam. “Apakah engkau punya budak yang bisa engkau jual kepadaku untuk membantuku?” kata Malik bin Dinar beralasan untuk mengetahui budak hitam yang dijumpainya semalam. Nakhos berkata, “Ya, saya mempunyai seratus budak. Kesemuanya bisa dipilih.” Mulailah Nakhos mengeluarkan budak satu per satu untuk dilihat Malik. Sudah hampir semuanya dikeluarkan, ternyata Malik tidak melihat budak yang dilihatnya semalam. Sampai Nakhos menyatakan bahwa budaknya sudah dikeluarkan semua. “Apakah masih ada yang lain?” tanya Malik. “Masih tersisa satu lagi,” jawab Nakhos.

Saat itu waktu mendekati waktu dhuhur. Saat istirahat siang. Malik berjalan ke belakang rumah menuju suatu kamar yang sudah terlihat reot. Di dalam kamar itulah Malik melihat budak hitam yang dilihatnya semalam sedang tertidur lelap. “Nakhos, dia yang saya mau, ya demi Allah dia,” kata Malik semangat. Dengan penuh keheranan Nakhos berkata, “Wahai Abu Yahya, itu budak sial. Malamnya habis untuk menangis dan siangnya habis untuk sholat dan puasa.” “Justru untuk itulah aku mau membelinya,” kata Malik. Melihat kesungguhan Malik, Nakhos memanggil budak tadi.

Dengan wajah kuyu, dengan rasa kantuk yang masih terlihat berat budak itu keluar menemui majikannya. Nakhos berkata kepada Malik, “Ambillah terserah berapa pun harganya agar aku cepat terlepas darinya.”

Malik mengulurkan dua puluh dinar sebagai pembayaran atas harga budak itu. “Siapa namanya?” tanya Malik yang sampai detik itu masih belum mengetahui namanya. “Maimun.”

Malik menggandeng tangan budak itu untuk diajak ke rumahnya. Sambil berjalan, Maimun bertanya, “Tuanku, mengapa engkau membeliku padahal aku tidak cocok untuk membantu?”

Malik berkata, “Saudaraku tercinta, kami membelimu agar kami bisa membantumu.” “Kok bisa begitu?” tanya Maimun keheranan. “Bukankah kamu yang semalam berdoa di masjid itu? Tanya Malik. “Jadi kalian sudah tahu saya?” Maimun kembali bertanya. “Ya akulah yang memprotes doamu semalam,” kata Malik.

Budak itu meminta untuk diantar ke masjid. Setelah sampai ke pintu masjid, dia membersihkan kakinya dan masuk. Langsung sholat dua rokaat. Malik bin Dinar hanya bisa diam sambil mengamatinya dan ingin tahu apa yang ingin dilakukannya. Selesai sholat, orang itu mengangkat tangannya berdoa seperti yang dilakukannya kala malam itu. Kali ini dengan doa yang berbeda, “Tuhanku, rahasia antara aku dan Engkau telah Engkau buka di hadapan makhluk-makhluk-Mu. Engkau telah membeberkan semuanya. Maka bagaimana aku nyaman hidup di dunia ini sekarang. Karena kini telah ada yang ketiga yang menghalangi antara aku dan diri-Mu. Aku bersumpah, agar Engkau mencabut nyawaku sekarang juga.”

Tangan diturunkan, budak itu kemudian sujud. Malik mendekatinya. Menunggu dia bangun dari sujudnya. Tetapi lama dinanti tak juga bangun. Malik menggerakkan badan budak itu, dan ternyata budak itu sudah tidak bernyawa lagi.
(Tarbawi, No. 64 Th. 5)

Puasa adalah Hadiah dari Allah untuk Umat Manusia

Alhamdulillah sudah 21 hari kita melaksanakan ibadah puasa, godaan dan halangan yang menyebabkan kita membatalkan puasa dapat kita lewati dengan mudah. Semoga Allah mengizinkan kita semua melaksanakan puasa genap sebulan penuh tanpa bolong-bolong, sampai hari Raya Idul Fitri nanti.

Allah Swt sengaja mewajibkan umat manusia untuk melaksanakan puasa, tidak hanya kepada umat Nabi Muhammad SAW, tetapi umat-umat sebelumnya juga telah Allah perintahkan untuk melaksanakan puasa. Agar umat manusia dapat menjadi orang yang taqwa dan punya derajat yang lebih tinggi disisi Allah Swt. SubhanAllah.

Pada hakekatnya puasa itu adalah merupakan sebuah hadiah yang diberikan oleh Allah Swt untuk seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Dengan maksud dan tujuan agar setiap individu dapat mensucikan dirinya dan dapat membersihkan batiniahnya dari segala jenis kotoran yang ditinggalkan oleh hawa nafsu.

Dan di dalam Islam sendiri, berkaitan dengan puasa ini, seorang muslim diperintahkan untuk mengikutsertakan seluruh anggota jawariahnya untuk bersama-sama menahan dari segala yang perbuatan-perbuatan tercela dengan cara membiasakan diri untuk menuju jalan yang terpuji agar setelah melewati bulan puasa nanti dapat terbiasa melakukan hal-hal yang baik pula.

Satu contoh, mata kita, yang mungkin biasanya sebelum bulan puasa sering dipake untuk melihat-lihat blog atau website yang mengumbar gambar-gambar yang tak senonoh, saatnya di bulan ini untuk menghindari link-link yang berbau pornografi.

Begitu juga dengan kaki kita, tangan dan seluruh anggota tubuh kita agar senantiasa tidak memperturutkan hawa nafsu kotor kita untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah swt. Saatnya kita semua bertafakur, memperkaya amaliyah serta mendekatkan diri dan hati kita hanya kepada Sang Kholik, Allah Azza Wajala.

Pada bulan Ramadhan inilah, waktu yang tepat untuk bertaubat, bulan yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan cara bersama-sama berkumpul dengan orang-orang shaleh, beramai-ramai untuk melakukan shalat tarawih dan witir, dan juga membiasakan diri untuk duduk berlama-lama di mesjid, mengaminkan doa-doa yang panjang dan ikut larut dalam sebuah perkumpulan-perkumpulan yang mengupas makna yang terkandung dalam ayat-ayat Allah. Sehingga kita benar-benar menjadi orang yang dirindukan oleh syurgaNya Allah Swt.

SubhanAllah

Andai Ini Ramadhan Terakhir

Wahai dikau…renunglah engkau akan nasib diri
Wahai kalbu…sedarkah engkau akan gerak hati
Wahai akal…terfikirkah engkau akan apa yang bakal terjadi
Andai ini merupakan Ramadhan yang terakhir kali
Buatmu sekujur jasad yang bakal berlalu pergi
Tatkala usia bernoktah di penghujung kehidupan duniawi
Pabila tiba saat tepat seperti yang dijanjikan Ilahi
Kematian…adalah sesuatu yang pasti

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu aku akan sangat sibuk berjuang meningkatkan kualitas puasaku.. Tidak hanya menahan lapar dahaga saja tapi apapun itu aku mempuasakan kehendak diriku
Tentu aku akan sangat sibuk berfikir+zikir dengan Al Quran surat cinta dari Allah kepadaku
Tentu aku tak akan jemu meresapi makna quran dalam kalbu sehingga menjadi keyakinan dalam hatiku
Sebaik2nya yang tertanam di kalbu adalah Keyakinan..
Dengan keyakinan Ilahiah aku bisa menjadi lebih taat/takwa kepada Allah SWT

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu solatku ku kerjakan di awal waktu
Sholat yang dikerjakan…sungguh khusyuk lagi tawadhu’
Jiwa dan raga…bersatu memperhamba diri
Mengadap Rabbul Jalil… menangisi kecurangan janji

“innasolati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil ‘alamin”
Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku, dan matiku…
kuserahkan hanya kepada Allah Tuhan seru sekalian alam.

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tidak akan ku sia-siakan walau sesaat yang berlalu
Setiap waktu tak akan disia-siakan begitu saja
Di setiap kejadian sunatullah yang menimpaku…
Iqro..bacalah..bacalah..bacalah Al Quran dengan hatiku tidak hanya stop ditenggorokanku saja..
alias lipservice saja..
tapi meresap di hatiku

Inilah peluang emasku untuk Iqro plus berfikir dengan Al-Quran lebih banyak
Sehingga aku bisa mengkayakan Keyakinan Ilahiyahku..
Karena Keyakinan Menentukan Sikap

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu malamku akan kulewati dengan berterawih…berqiamullail…bertahajjud…
mengadu…merintih…meminta belas kasih
“Sesungguhnya aku tidak layak untuk ke syurga-MU
tapi…aku juga tidak sanggup untuk ke neraka-MU”
oleh itu duhai Ilahi…
kasihanilah daku hamba-MU ini

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu diriku tak akan melupakan orang-orang yang tersayang disekelilingku
Untuk mengajak menyambut Ramadhan dengan rasa rindu
dan kita raih…..suatu malam idaman
yang lebih baik dari seribu bulan…. malam lailatul qadar

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu aku bakal bersedia batin dan zahir
mempersiap diri…rohani dan jasmani
menanti-nanti jemputan Izrail
di kiri dan kanan …lorong-lorong redha Ar-Rahman

Andai ku tahu ini Ramadhan terakhir
duhai Ilahi….
Andai ini Ramadhan terakhir buat kami
Jadikanlah ia Ramadhan paling berarti…paling berseri…
Menerangi kegelapan hati-hati kami
Menyuluhi diri ke jalan menuju redha serta kasihsayang Mu Ya Ilahi…
mencapai Dunia Bahagia
dan semoga Akhirat Surga bakal mewarnai kehidupan kami di sana nanti
dan Berkah lahir batin ….
kembali putih bersih
Fitrah seperti ibu yg baru melahirkan anaknya …

Ahhh .. andai ini RAMADHAN terakhir …
aku ingin keluar terlahir sebagai ‘PemenanG’ dunia akhirat ….

Andaiku tahu ini Ramadhan terakhir
Aku akan mempersiapkan bekal amal sholehku sebanyak-banyaknya
Pengorbanan jiwa raga dan materi di jalan Allah…
semuanya kuniatkan semata-mata lillahi ta’ala.

Namun…
Tak akan ada manusia yang bakal mengetahui
Apakah Ramadhan ini merupakan yang terakhir kali
Yang bisa dilakukan bagi seorang hamba itu
hanya berusaha…bersedia…meminta belas-NYA
Andai benar ini Ramadhan terakhir buatku…

Semoga menjadi inspirasi untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, lebih – lebih di bulan yang penuh dengan keberkahan ini.

Jaga sholatmu !!!!

Kolak Mak

Penulis : Fiyan Arjun

"Sudahlah, Mak ndak usah jualan kolak lagi. Lagi pula buat siapa sih, Mak? Bukannya nanti Narto kirimin uang buat Mak tiap bulan kalau Narto sudah bekerja di Jakarta. Sudahlah, Mak lebih baik istirahat saja dan Mak bisa menjalani ibadah Ramadhan kali ini dengan khusyu," kataku panjang lebar saat membantu Mak di dapur sambil membersihkan singkong yang Mak beli di pasar pagi suatu hari. Dimana saat kakiku belum meninggalkan kampung halaman untuk memenuhi panggilan kerja di kota Jakarta.

Mak diam seribu bahasa. Tak memberi jawaban satu pun. Apalagi ucapan yang terlontar dari bibirnya yang mulai kering itu. Aku pun jadi serba salah.

"Mak marah ya sama Narto? Kalau begitu, Narto minta maaf sama Mak," ujarku lagi meminta maaf kepada Mak.

"Bukan begitu, Le. Mak berjualan kolak semata-mata untuk menjalankan mendiang wasiat Ayahmu sebelum meninggal. Ayahmu dulu bilang, Mak tetap harus jualan kolak. Lagi pula, Mak jual bukan semata-mata mencari uang kok, Le, melainkan untuk membantu mereka yang sedang berbuka puasa, terlebih saat sulit mencari makanan untuk berbuka. Dan kolak Mak-lah satu-satunya jadi makanan untuk berbuka."

Aku diam terpaku. Tak ada jawaban lagi yang dapat aku lontarkan untuk Mak. Semua perkataan Mak ada benarnya juga. Aku tak bisa lagi menggugatnya untuk melarang Mak berjualan kolak di depan teras rumah. Berjualan kolak di saat bulan Ramadhan tiba.

***

"Lho, kok kamu melamun saja sih, To. Sudah adzan maghrib tuh. Memangnya kamu tidak mendengar adzan masjid di depan," tiba-tiba suara Seno, kawan sesama kost-anku mengejutkan aku dari belakang. "Oya, nih aku bawakan kolak buat kamu buka puasa," lanjut Seno lagi sambil menaruh kolak di atas meja kecil yang ada di hadapanku.

Aku pun terkesiap. Terkejut. Sontak terkaget saat Seno tiba-tiba sudah menaruh kolak di depan mukaku. Kulihat kolak itu terbungkus rapi dengan plastik putih berdiri dengan tegak merayu untuk segera aku nikmati untuk melepaskan dahaga seharian berpuasa. Tanpa kusadari, kolak itu membuatku teringat dengan kenanganku di kampung bersama Mak disaat aku membantunya membuat kolak di dapur. Terlebih pada saat bulan seperti ini. Bulan Ramadhan tiba. Cukup banyak pesenan, baik dari tetangga yang ingin memesannya maupun bagi mereka yang ingin berbuka dengan kolak Mak.

"Lho, kok belum dibuka juga sih, To. Nanti keburu dingin lho? Bukannya menyegerakan berbuka puasa itu lebih bagus," Seno lagi-lagi memberitahukanku untuk segera berbuka puasa, sehingga membuat lamunanku dengan Mak di kampung halaman hilang sekejap.

"Hmm... Makasih-makasih, No. Maaf, aku nggak dengar kamu," ucapku tergagap kepada Seno.

Seno adalah kawan sekost-anku sejak aku bekerja di Jakarta. Aku mengenalnya saat aku diterima di kost-an, tempat aku berlindung dari sengatan matahari dan terpaan hujan di belantara kota ini. Selama itulah aku menjadi mengenal baik dirinya. Ternyata Seno adalah penghuni lama kost yang aku tempati. Ia tinggal di tempat itu sudah dua tahun lamanya. Bukan itu saja, Seno ternyata senasib denganku, tapi ia lebih tragis. Ia pergi jauh meninggalkan kampung halamannya karena semata faktor kemiskinan yang dilanda keluarga di kampung. Dikarenakan semua sawah serta ladang keluarga miliknya itu habis buat taruhan judi ayahnya semasa hidupnya dulu di kampung. Ia harus menghidupi tiga orang adik-adiknya yang masih kecil serta neneknya yang merawat adik-adiknya itu. Yang membuat aku lebih terkejut, ternyata ia seorang yatim piatu.

"Ya, sudah buka puasa dulu. Aku tahu kamu teringat sama ibu kamu di kampung kan? Aku juga sama kok sama kamu seperti itu. Aku teringat orang-orang yang aku cintai di kampung. Tapi aku bisa menghalau itu semua dengan shalat malam agar rasa rinduku hilang dan berganti dengan do'a untuk mereka. Yuk, kita shalat maghrib, nanti kita tidak ikut jama'ah lagi. Ya, sudah aku wudhu dulu ya, nanti kamu menyusul."

***

Sudah tiga kali puasa dan tiga kali Lebaran aku bekerja di Jakarta. Tapi sekali pun aku belum bisa menapakan kakiku di kampung halaman. Melepaskan rinduku yang sudah menggumpal bagai magma gunung Merapi yang ingin ke luar untuk ibuku di kampung. Bekerja selama tiga tahun membuat aku semakin rindu akan pelukan Mak, apalagi kolak buatan Mak yang tiap kali ia hidangkan dengan dihiasi senyumnya yang teduh untukku. Ah, Mak, maafkan Narto anakmu ini. Narto belum sempat menjenguk Mak di kampung. Do'akan ya, Mak, Lebaran kali ini Narto bisa pulang ke pelukan Mak. Narto sudah kangen kolak Mak.

"Oya, No, tanggal berapa sekarang?" tanyaku pada Seno singkat.

"Memangnya kenapa? Bukannya Lebaran masih lama. Masih dua minggu lagi kan," jawab Seno sambil menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Sedangkan aku, asyik melingkari angka-angka di kalender yang terpampang di atas dinding tembok kost-an.

"Ah, nggak kok, No. Aku cuman bertanya saja. Boleh kan aku tanya?" elakku agar tak ketahuan rinduku yang semakin tak terbendung terhadap orang yang sangat aku sayangi sekali. Mak. Ya, Mak, orang yang selama ini aku impikan dan aku rindukan disaat bulan-bulan seperti ini. Bulan penuh rahmat dan penuh ampunan. Bulan Ramadhan yang keempat kalinya aku menyimpan rinduku pada Mak di kampung.

Ini adalah bulan Ramadhan yang keempat kalinya aku tak bisa bertemu dengan Mak. Keempat kalinya juga aku tak merasakan kolak buatan Mak selama aku berbuka puasa. Seno-lah yang selama ini banyak membantuku menyiapkan. Dan ia pasti tahu bahwa aku sangat suka sekali dengan kolak. Terlebih kolak yang dibungkus plastik putih. Aku sangat menyukainya. Ya, hitung-hitung untuk membunuh rasa rinduku kepada Mak di kampung halaman.

"Eya, No, terima kasih sekali ya atas bantuanmu selama ini. Entah apalagi yang harus aku ucapakan buat kamu. Siapa lagi kalau bukan kamu yang menyiapkan makanan untuk berbuka. Terlebih pekerjaanku yang semakin menyita waktu, hingga aku pun tak sempat sama sekali menyiapkan menu buka puasa buat kita berdua."

"Sudahlah, To. Toh, aku senang kok. Lagi pula, yang penting ibadah kamu tak terganggu, aku pun sudah senang. Bukankah menyiapkan makanan untuk orang berpuasa lebih banyak pahala dan bagus?"

"Eya, benar juga ya, No."

Akhirnya kami berdua pun tertawa bersama-sama. Baru kali ini aku bisa tertawa bersama Seno dalam satu kost-an. Padahal, aku sudah lama mengenal Seno. Itu pun sangat langka aku lakukan disaat bulan seperti ini. Bulan yang membuat aku semakin disibukkan kerja. Apalagi jika minus seminggu Lebaran tiba, aku pun terpaksa harus bekerja lebih dari biasanya. Lagi-lagi aku pasti tak bisa berkumpul berbuka puasa bersama Seno di kost-anku. Begitu juga rasa rinduku pada Mak di kampung halaman.

***

"Kamu sudah siap To pulang ke kampung halamanmu kali ini? Bukannya kamu sudah janji sama Mak kamu bahwa Lebaran kali ini kamu akan pulang?" Seno mengingatkaku lagi sambil menyiapkan makanan untuk berbuka.

"Entahlah, aku tak tahu, No. Tempat aku bekerja tak membolehkan aku pulang di hari raya nanti. Aku diperbolehkan nanti saat seminggu setelah Lebaran tiba. Itu juga aku bekerja karena terpaksa menggantikan kawanku yang kecelakaan dirawat di rumah sakit," jawabku llirih pada Seno yang saat itu merasa prihatin dengan keadaanku. Seno tahu benar bahwa saat itu aku sangat menginginkan pulang ke kampung halaman untuk menjenguk dan melepas rinduku pada Mak.

"Kamu sendiri, No, tidak pulang kampung?" balasku menanyakan kepulangan Seno nanti ke kampung halamannya.

"Kalau aku, tidak, To. Aku lebih baik mengirimkan uang dan pakaian-pakaian Lebaran buat adik-adikku dan nenek di kampung. Toh, Lebaran di kampung dan di sini sama saja. Lagi pula, biaya untuk ke kampung lebih mahal daripada yang kukirim untuk adik-adikku dan nenekku. Lebih baik aku di sini saja."

Lagi-lagi aku mendengar jawaban seperti itu dari mulut Seno. Ia merasa bahwa kepulangannya ke kampung tak begitu berarti bagi dirinya. Baginya, ia sudah berbuat lebih untuk adik-adik dan neneknya di kampung. Itu sudah lebih baik daripada ia nanti harus bersusah payah jika kembali ke Jakarta, dikarenakan biaya dari kampungnya ke Jakarta lebih mahal. Itulah alasannya ia tak mau pulang saat orang-orang merayakan hari kemenangannya selama sebulan penuh itu.

***

Allahu akbar .. Allahu akbar ..

Allahu akbar .. Allahu akbar ..

"Alhamdulillah, kita akhirnya menang juga ya, To. Puasa kita akhirnya lulus juga sampai akhir. Buka yuk?" Seno melonjak kegirangan atas keberhasilannya berpuasa hingga penuh. Lulus sampai akhir di hari raya kemenangan..

"Oh, iya ya," jawabku sambil menatap ke arah kolak yang sudah ada di hadapanku yang seperti biasa Seno bawakan untuk berbuka puasa. Kolak. Ya, kolak makanan yang sama seperti Mak buat di kampung halaman.

sumber : KotaSantri.com

Cinta yang Tak Sederhana

Penulis : agus triningsih

Aku ingin mencintaiMu dengan sederhana :
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaiMu dengannya tiada sederhana :
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikan air kehidupan

Aku menemukan deretan kata tersebut dalam diary. Entah dari buku mana aku mengutipnya. Satu hal yang pasti, rangkaian kata tersebut, kembali membuatku merenung : berhenti sejenak. Mencoba menelisik ke dalam hati hingga relung-relung yang terdalam. Mencari satu kata dalam jiwa.

C i n t a.
Ya, cinta.

Hati ini sering terbeli oleh orang yang berbuat baik kepadaku. Itulah cinta, cinta yang membuatku ringan berbuat bahkan berkorban. Aku cinta kepada orangtua yang sudah banyak memberi kebaikan. Aku pun Cinta kepada siapa saja yang membuat kita mendapatkan nikmat kebaikan. Tapi sesungguhnya semua sumber kebaikan adalah hanya dari Allah. Sedangkan makhluk hanyalah jalan nikmat yang Dia berikan. Maka sesungguhnya kepadaNya-lah aku harus jatuh cinta. Maka sesungguhnya cinta sejati adalah kepada sumber kebaikan, sumber segala kebahagiaan dan kenikmatan yang sampai kepadaku. Dia-lah Allah yang Maha Pecinta, Dia lah yang layak aku cintai dengan sepenuh hati.

sumber : KotaSantri.com

Nenek Pemungut Daun

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.


Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."