Senin, 06 September 2010

Indahnya Kemiskinan

WaterLily082

“Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo nak!” Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu ‘langganan’, tempat kami meminjam beras.

Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti ‘gentong’ tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.

Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat kemana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushollah, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan.

Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan disini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih ‘enak’ jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya.

Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan ‘sampingan’ tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya “Capek nak. Tolong Mbah dipijatin ya?” Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.

Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing dibelakang, dan disebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat dimana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya kesana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul.

Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya.

Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah mananyakan “Kamu sudah belajar nak?”

Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang ‘malas’ untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil atau ballpen.

Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?

Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tesrsebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. “Ini kamu bawa pulang nanti nak!” Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau.

Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah!

Melihat ‘keindahan’ kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.

Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membeayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi.

Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami.

Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan beaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.

Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil disana-sini.

Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya ‘bangga’ bisa memberikan sedikit ‘sumbangan’ bagi beliau.

Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Disana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya ‘guru kecil’.

Bilamana Ramadan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu disana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat.

Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam ditangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan ‘sumbangan kecil’ ini bagi Ibu saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar “Nggak bangun kamu?”. Kemudian saya dengar “Blakkkk…!”, Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di ‘amben’, sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa.

Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah sholat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukanmya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai sholat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada.

Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya “Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?”, sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggungjawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, “Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?” Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring diwaktu kecil!

Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan kesana kemari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang “Jangan dihabiskan, ingat lainnya!” Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan ‘jauh’ dari saudara, teman bahkan ‘kenikmatan’ dunia.

Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis.

Bagi saya hal itu tidak ubahnya ‘hiburan’. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapak ku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup ‘besar’ tentunya.

Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh dibawah kami tingkat penderitannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau.

Setiap akhir pekan, biasanya ada saja ‘hiburan’ yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban kristenisasi tersebut.

Ramadan ini adalah puasa ketiga Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. ” Bangun, sudah hampir Imsak!” Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang ‘layak’ kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang “Makan apa nanti ?”, sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. “Aku akan cari bayam !” kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu ya Allah atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!

Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang…..adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga ‘indah’.

Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alas an tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan disbanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah dibalik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah!

Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia dibalik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.

***

Mimpi yang Membawa Hikmah

kiamat94

Khalifah Umar bin Abdul Azis pernah gemetar ketakutan. Bukan karena menghadapi musuh di medan pertempuran. Tetapi ketika beliau mendengar cerita tentang alam akhirat.

Semua perbuatan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawabann ya di akhirat. Di akhirat kelak setiap manusia akan diperintahkan berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Manusia akan terlempar ke neraka jika tidak bisa melewati jembatan itu. Sebaliknya, manusia tersebut akan menikmati keindahan surga jika bisa melewati jembatan itu.

Setiap manusia akan menemui kesulitan dan kemudahan yang beragam saat berjalan di atas jembatan shiratal mustaqim. Jika selama hidup di dunia, manusia itu banyak beramal saleh, ia akan mudah melewatinya. Jika tidak, iaakan sulit berjalan di atas shiratal mustaqim. Bahkan, besarkemungkinan iaakan terlempar dan jatuh ke jurang neraka di bawahnya.

Hal itu membuat banyak orang khawatir. Tentu saja. Sebab, kita tidak pernah tahu secara pasti apakah selama di dunia kita tergolong orang yang banyak beramal saleh atau justru banyak berbuat dosa. Nah, perasaan itu juga dirasakan khalifah Umar bin Abdul Azis. Apalagi waktu khalifah Umar bin Abdul Azis mendengar cerita seorang hamba sahaya tentang mimpinya di suatu hari.

Umar bin Abdul Azis tertarik waktu hamba sahaya itu bercerita. “Ya, Amirul Mukminin. Semalam saya bermimpi kita sudah tiba di hari kiamat. Semua manusia dibangkitkan Allah, lalu dihisab. Saya juga melihat jembatan shiratal mustaqim.”

Umar bin Abdul Azis mendengarkan dengan seksama. “Lalu apayang engkau lihat?” tanyanya.

“Hamba melihat satu per satu manusia diperintahkan berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Penguasa Bani Umaiyah, Abdul Malik bin Marwan, hamba lihat ada di antara orang yang pertama kali dihisab. la berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Tapi, baru dua langkah, dia sudah jatuh ke dalam jurang neraka. Saat ia jatuh, ubuhnya tak terlihat lagi. Hamba hanya mendengar suaranya. la terdengar menangis dan memohon ampun kepada Allah,” jawab hamba sahaya itu.

Umar bin Abdul Azis tertegun mendengar cerita itu. Hatinya gelisah.

“Lalu bagaimana?” ia bertanya dengan gundah.

“Setelah itu giliran putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Ia juga terpeleset dan masuk ke dalam jurang neraka. Lalu tiba giliran para khalifah yang lain. Saya melihat, satu per satu mereka pun jatuh. Sehingga tidak ada yang sanggup melewati jembatan shiratal mustaqim itu,” kata sang hamba sahaya.

Umar bin Abdul Azis tercekat karena merasakan takut dan khawatir dalam dadanya. Sebab, ia juga seorang khalifah. la sadar, menjaga amanah kepemimpinan dan kekuasaan itu sangat berat. Dan ia punyakin, setiap pemimpin harus bisa mempertanggungjawab kan kepemimpinannya. Tidak ada seorang pun yang akan lolos dari hitungan Allah.

Jantung Umar seketika berdegub kencang. Nafasnya memburu. Ia cemas, jangan-jangan nasibnya akan sama dengan para pemimpin lain yangdikisahkan hamba sahaya itu. Karena cemas dan takut, Umar bin Abdul Azis meneteskan air mata. Ia menangis.

“Ya, Allah. Apakah aku akan I bernasib sama dengan mereka yang dilihat hamba sahaya ini di dalam mimpinya? Apakah aku telah berlaku tidak adil selama memimpin? Pantaskah aku merasakan surga-Mu, ya Allah?” bisik Umar bin Abdul Azis di dalam hati. Air matanya kian deras mengalir.

“Lalu tibalah giliran Anda, Amirul Mukminin,” kata hamba sahaya itu.

Ucapan hamba sahaya itu menambah deras air mata Umar bin Abdul Azis. Umar kian cemas. Kecemasan Umar membuat tubuhnya gemetaran. Ia menggigil ketakutan. Wajahnya pucat. Matanya menatap nanar kesatu sudut ruangan.

Saat itu, Umar bin Abdul Azis mengingat dengan jelas peringatan Allah SWT, “Ingatlah pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. Dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah sentuhan api neraka”

Hamba sahaya itu justru kaget melihat reaksi khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa. Dalam hati, ia merasa serba salah. Sebab, ia sama sekali tidak punya maksud untuk menakut-nakuti khalifah. Ia sekadar menceritakan mimpi yang dialaminya.

Melihat kepanikan khalifah, hamba sahaya itu lalu berusaha menenangkan Umar bin Abdul Azis. Namun, Umar bin Abdul Azis belum bisa tenang. Maka, hamba sahaya itu pun meneruskan ceritanya dengan berkata, “Wahai, Amirul Mukminin. Demi Allah, aku melihat engkau berhasil melewati jembatan itu. Engkau sampai di surga dengan selamat!”

Mendengar itu, Umar bin Abdul Azis bukan tersenyum apalagi tertawa. Ia diam. Cukup lama Umar tertegun. Cerita itu benar-benar membuatnya berpikir dan merenung.

Ada hikmah yang lalu dipetik Umar dari cerita itu. Dan sejak itu, ia menanamkan tekad untuk lebih berhati-hati dalam amanah kekuasaan. Itu adalah amanah Allah yang sangat berat.

***

Rp. 1.500,- = Rp. 600.000,- (matematika Allah)

sujud-011

“Tidak ada satu maksud apa pun ketika menuliskan cerita ini, semoga Allah menjaga hati ini dari sifat riya meski sebiji zarah pun.” [ Bayu Gawtama]

Jum’at lalu, saya berangkat ke kantor dengan dada sedikit berdegub. Melirik ukuran bensin di dashboard motor, masih setengah. “Yah cukuplah untuk pergi pulang ke kantor”.

Namun, bukan itu yang membuat dada ini tak henti berdegub. Uang di kantong saya hanya tersisa seribu rupiah saja. Degubnya tambah kencang karena saya hanya menyisakan uang tidak lebih dari empat ribu rupiah saja di rumah. Saya bertanya dalam hati, “makan apa keluarga saya siang nanti?” Meski kemudian buru-buru saya hapus pertanyaan itu, mengingat nama besar Allah yang Maha Melindungi semua makhluk-Nya yang tawakal.

Saya berangkat, terlebih dulu mengantar si sulung ke sekolahnya. Saya bilang kepadanya bahwa hari ini tidak usah jajan terlebih dulu. Alhamdulillah ia mengerti. Soal pulangnya, ia biasa dijemput tukang ojeg yang -sukurnya- sudah dibayar di muka untuk antar jemput ke sekolah.

Sepanjang jalan menuju kantor saya terus berpikir, dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk menjamin malam nanti ada yang bisa dimakan oleh isteri dan dua putri saya. Urusan besok tinggal bagaimana besok saja, yang penting sore ini bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan.

Tiba di kantor, tiba-tiba saya mendapatkan sebungkus mie goreng dari seorang rekan kantor yang sedang milad (berulang tahun). Perut saya yang sejak pagi belum terisi pun mendesak-desak untuk segera diisi. Namun saya ingat bahwa saya tidak memiliki uang selain yang seribu rupiah itu untuk makan siang. Jadi, saya tangguhkan dulu mie goreng itu untuk makan siang saja.

Sepanjang hari kerja, terhitung dua kali saya menelepon isteri di rumah menanyakan kabar anak-anak. “sudah makan belum?” si cantik di seberang telepon hanya menjawab, “Insya Allah,” namun suaranya terasa getir. Saat itu, anak-anak sedang tidur siang.

Pukul lima sore lebih dua puluh menit saya bergegas ke rumah. Sebelumnya saya sudah berniat untuk menginfakkan seribu rupiah di kantong saya jika melewati petugas amal masjid yang biasa ditemui di jalan raya. Sayangnya, sepanjang jalan saya tidak menemukan petugas-petugas itu, mungkin karena sudah terlalu sore. Akhirnya, sekitar separuh perjalanan ke rumah, adzan maghrib berkumandang. Motor pun terparkir di halaman masjid, dan seketika mata ini tertuju kepada kotak amal di pojok masjid. “bismillaah. ..” saya masukkan dua koin lima ratus rupiah ke kotak tersebut.

Usai sholat, setelah berdoa saya meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, tangan saya menyentuh sesuatu di kantong celana. Rupanya satu koin lima ratus rupiah. Kemudian saya ceploskan lagi ke kotak amal yang sama.

Sesampainya di rumah, isteri sedang memasak mie instan. Semangkuk mie instan sudah tersaji, “kita makan sama-sama yuk…” ajak si manis. Kemudian saya bilang, “abang sudah kenyang, biar anak-anak saja yang makan”. Anak-anak pun lahap menyantap mie instan plus nasi yang dihidangkan ibu mereka. Rasanya ingin menangis saat itu.

***

Keesokan paginya, isteri menggoreng singkong untuk sarapan. Alhamdulillah masih ada yang bisa dimakan. Sebenarnya hari itu masih punya harapan. Seorang teman isteri beberapa hari lalu meminjam sejumlah uang dan berjanji mengembalikannya Sabtu pagi. Namun yang ditunggu tidak muncul. Bahkan ketika terpaksa saya harus mengantar isteri menemui temannya itu, pun tidak membuahkan hasil.

Tiba-tiba telepon saya berdering, “Pak, saya baru saja mentransfer uang satu juta rupiah ke rekening bapak. Yang empat ratus ribu untuk pesanan 20 buku bapak yang terbaru. Sisanya rezeki untuk anak-anak bapak ya…” seorang sahabat dekat memesan buku karya saya yang terbaru.

Subhanallah, Allahu Akbar! Saya langsung bersujud seketika itu. Saya hanya berinfak seribu lima ratus rupiah dan Allah membalasnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini matematika Allah, siapa yang tak percaya janji Allah? Yang terpenting, siang itu juga saya buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari yang saya peroleh hari itu untuk diinfakkan.

***

Saya bersyukur tidak memiliki banyak uang maupun tabungan untuk saya genggam. Sebab semakin banyak yang saya miliki tentu semakin berat pertanggungjawaban saya kepada Allah.

Saat Nyawa Dicabut

imgp7521

Sakaratul maut adalah peristiwa sakitnya kematian. Penderitaan yang paling akhir bagi seorang yang hidup. Sebelum nyawa manusia dicabut, terlebih dahulu ia akan mengalami pedihnya sakaratul maut. Itulah proses kematian anak Adam, yaitu ketika terjadi perpisahan antara raga dan nyawa. Setiap anggota tubuhnya akan saling mengucapkan selamat berpisah kepada satu sama lain. Proses itu sungguh menyakitkan dan suatu peristiwa yang sangat dahsyat.

Allah Swt berfirman, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada saat orang-orang zhalim berada dalam tekanan sakaratul maut” ( Al-an’am 93 )

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya semua manusia pasti mengalami sakaratul maut. Dan sesungguhnya sendi-sendi tulangnya, masing-masing mengucapkan salam perpisahan kepada yang lain seraya berkata, “Semoga kamu sejahtera. Kamu berpisah dariku, dan aku pun berpisah darimu sampai hari kiamar.” ( dikeluarkan oleh Said bin Mansur ).

Sungguh sakaratul maut adalah perkara yang sangat menyakitkan. Lebih sakit dari pada dipenggal dengan pedang, atau dingergaji dengan gergaji atau digunting dengan gunting.

Jangankan kita sebagai manusia biasa, para Nabi pun mengalami kejadian yang sama saat nyawa mereka dicabut. Allah bertanya kepada Roh Nabi Ibrahim as, bagaimanakah rasanya kematian? Jawab Ibrahim as, “Bagaikan batang besi pemanggang daging yang dipanaskan, dimasukan ke dalam wol basah, lalu ditarik dengan keras.” Allah berfirman, “Padahal sungguh, Kami telah meringankannya untukmu, wahai Ibrahim,” Begitu juga ketika roh Nabi Musa as. ditanya bagaimanakah rasanya kematian? Musa as menjawab,”Kurasakan diriku seperti seekor burung kecil yang digoreng hidup-hidup di wajan. Tidak mati, maka akhirnya bisa tenang, dan tidak pula selamat, maka akhirnya bisa terbang.” Dalam riwayat lain, Nabi Musa as berkata, “Kurasakan diriku seperti seekor kambing yang dikuliti hidup-hidup oleh tukang jagal ( Al-Muhasibi dalam Ar-Ri’ayah).

Nabi saw bersabda demi Allah yang menggenggam jiwaku, sesungguhnya melihat malaikat maut itu lebih dahsyat dari pada seribu kali pukulan pedang.” .

Malaikat maut itu sendiri ketika Allah mencabut nyawanya kelak, setelah kematian seluruh makhluk, maka ia berkata , “Demi keagungan-Mu, andaikan aku tahu betapa pedih sakaratul maut seperti yang kurasakan kini. Niscaya aku tidak akan mencabut nyawa seorang mukmin pun “

Diriwayatkan dari Abu Maysarah secara marfu’, “Andaikan sakitnya seutas rambut dari orang yang meninggal dunia itu diberikan kepada penduduk langit dan bumi, niscaya mereka akan mati semua.

Al-Qurtubi rah.a menulis dalam At-Tadzkirah- nya, “Saya mendengar, Wallahu a’lam wa ahkam, bahwa malaikat maut itu memandang wajah setiap Bani Adam sebanyak 366 kali. Dan bahwa malaikat maut memandang ke setiap rumah yang berada dibawah naungan langit sebanyak 600 kali. Dan saya mendengar malaikat maut itu mencabut nyawa anak Adam dari bawah setiap anggota tubuhnya, yaitu dari kuku-kukunya, urat-uratnya, dan rambutnya . Dan setiap kali nyawa itu sampai dari sendir-sendi yang lainnya, maka rasa sakitnya lebih dasyat dari pada dipukul 1000 kali.’ Wallahu a’lam.

Semoga Allah Swt dengan kasih sayangnya memberikan kemudahan kepada kita semua dalam menghadapi sakaratul maut.

“ Ya Allah lindungilah kami dari azab kubur , azab jahanam , fitnah dajjal dan kami berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati.”

jazakallah bil jannah

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Berapakah Kira-kira Luas Surga dan Neraka

galaksi

Berapakah kira-kira luas surga?


“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada Syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran: 133)

“Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya” (QS. Al-Hadiid : 21)

Subhaanallah, Surga itu luasnya seluas langit dan bumi? Berapakah luasnya langit dan bumi itu? Bisakah ilmu pengetahuan mengukurnya? Surga begitu luasnya, sementara penduduk bumi kita yang berisi sekitar lima milyar orang saja masih menyisakan demikian luas tempat yang belum dihuni.

Baiklah, sekedar untuk berhitung dan yang penting adalah untuk menambah keimanan kita akan kebesaran Allah Swt, mari kita mencoba mengukurnya. Berdasarkan informasi dari Al-qur’an. Bahwa langit ini dicipta oleh Allah Swt sebanyak TUJUH lapis.

Pernyataan ini didukung paling tidak oleh delapan buah ayat al-qur’an yaitu Al-Isra’ : 44, Al-Mukminuun : 17, Al-Mukminuun : 86, Al-Mulk : 3, Al-Baqarah : 29, At-Thalaq : 12, Nuh : 15 dan An-Naba’ : 12

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra’ : 44)

Langit diciptakan oleh Sang Pencipta sebanyak tujuh lapis, sementara untuk langit terdekat saja

galaksi 2

yang masih mampu dipandang teropong manusia yang tercanggih sekalipun sudah membuat manusia ‘takluk’ tidak dapat membayangkan. Maka bumi sungguh ibarat debu jika dibandingkan dengan luasnya surga. Demikian pula keindahan bumi beserta isinya, sungguh amat sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan keindahan Surga.

Benarlah kata sebuah hadits Qudsi yang menyatakan bahwa, keindahan surga yang diberikan Allah kepada para hambaNya, belum pernah didengar telinga, belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terlintas di dalam hati.

Sekedar sebagai ilustrasi matematis, mari kita bayangkan berapa luasnya jagad raya langit pertama itu. Garis tengah untuk langit pertama atau jagad raya ini diperkirakan sebesar 30 milyar tahun cahaya. Berarti garis tengah jagad raya kita ini sepanjang : 30.000.000.000 X 360 X 24 X 60 X 60 X 300.000 km = 279.936.000.000.000.000.000.000 km. Ini bukan luasnya langit, tetapi baru garis tengahnya saja.

Yang sedang kita hitung inipun masih luas langit terdekat saja. Belum lagi langit lapis ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam, dan yang ke tujuh. Yang kesemuanya itu jauh lebih besar dibanding langit pertama.

Lalu bisakah kita membayangkan luas surga? Bagaimana dengan keindahannya? Subhaanallah. Logika ilmu pengetahuan mungkin bakal terhenti, tinggal logika iman yang bisa mengukurnya.

Rasulullah pernah bersabda bahwa di surga sebuah pohon akan bisa kita lalui dari ujung ranting timur ke ujung ranting barat sejauh 100 tahun perjalanan.

Satu lagi, bahwa menurut ilmu pengetahuan, ternyata jagad raya ini tidak tetap, tetapi terus mengembang bertambah lama bertambah besar dan tentu juga bertambah luas. Menurut penelitian Stephen Hawking setiap satu milyar tahun jagad raya mengembang sekitar sepuluh sampai dengan lima belas persen.

Surga memang luar biasa hebatnya. Luar biasa indahnya. Bahkan kita tidak bisa membayangkannya. Tetapi yang lebih menarik adalah ‘pernyatan sikap’ para sufi dan para wali Allah, yang mengatakan bahwa mereka tidak terpesona dengan surga yang tidak terbayangkan keindahannya itu. Sebab mereka lebih terpesona dan lebih cinta kepada Pencipta dan Pemilik Surga, yaitu Allah Swt.

Artinya keindahan Allah Swt, Kebesaran, dan kehebatannya, sungguh melebihi surga itu sendiri. Subhaanallah. Cuma kadang-kadang manusia ‘terperangkap’ dengan keindahan hadiahnya dan lupa kepada Dzat Yang Maha Pemberi hadiah.

***

Berapakah kira-kira luas neraka ?

Suatu saat Abu Hurairah ra, mengatakan, ketika kami bersama rasulullah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti benda yang jatuh menggelegar. Nabi yang mulia mengatakan:

“Tahukah kamu sekalian, suara apa itu? Kami menjawab: hanya Allah dan rasulNya sajalah yang lebih mengetahuinya. Nabi menjawab, itu tadi adalah suara dari sebuah batu yang dijatuhkan ke dalam jurang neraka, sejak tujuh puluh tahun yang lalu, baru sampai ke dasarnya ini tadi…” (HR. Muslim)

Benda yang jatuh, secara ilmu fisika bisa dihitung jaraknya. Berdasarkan gravitasi yang berlaku. Jika gravitasi bumi kita ini adalah 9,8 m / detik, maka dengan mudah kita bisa menghitung jarak tempuh batu yang jatuh mengikuti rums 1/2 gt2. Jika jatuhnya ke bumi kita sbb:

Jarak tempuh batu selama 70 tahun adalah, 0,5 x [70X360X24X60X60] x [70X360X24X60X60] x 9,8 m = 23.228.686.172. 160.000 m = 23.228.686.172.160 km,

Bandingkan garis tengah bumi kita hanya: 12.756 km. Ini berarti, bahwa neraka memiliki kedalaman: 23.228.686.172.160 km /12.756 km = 1.821.000.797.441,2 X diameter bumi ini jika dipakai gravitasi ‘bumi kita’.

Artinya bahwa, jika jurang neraka itu diukur berdasarkan gravitasi bumi kita, maka neraka memiliki kedalaman = 1.821.000.797.441,2 kali garis tengahnya bumi. Atau jika kita menggali sebuah sumur, maka sumur itu akan mencapai kedalaman seperti yang kita hitung di atas. Apabila sumur itu menembus bumi berulang kali, sampai sebanyak 1.821.000.797.441,2 kali.

Dari sini saja kita sudah sulit membayangkan betapa dalamnya jurang neraka seperti yang diinformasikan oleh rasulullah saw tadi. Jadi jurang neraka itu sedalam: 1.821.000.797.441,2 kali ‘tebal’nya bumi. Ah, betapa menggiriskan! Yang baru kita illustrasikan tadi kedalaman vertikal neraka, bagaimana pula lebar horizontalnya. Semestinya lebar horizontal lebih luas dari vertikalnya, ibarat bumi yang memiliki permukaan lebih luas dibanding ketinggian atmosfir bumi.

Tetapi kedalaman itu, ‘belum seberapa, sebab nanti di yaumil akhir, bumi kita ini akan diganti oleh bumi yang lain. Sehingga gravitasi yang dimaksud tentu bukan gaya gravitasi bumi kita ini. Tetapi gravitasi bumi baru, yang jauh lebih hebat dan lebih dahsyat kekuatan daya tariknya.

“Ketika bumi ini diganti dengan bumi yang lain, begitu pula dengan langitnya, Mereka bermunculan dari kuburnya masing-masing menghadap kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa”. (QS. Ibrahim 14 : 48)

Jangankan dipakai ukuran bumi baru yang kita belum tahu gravitasinya. Andaikata dipakai ukuran gaya tariknya Black Hole saja, yg mempunyai perbandingan 1 : 100 trilyun (perbandingan ini telah dianalisis pada suatu diskusi ilmiah yang bejudul “Menikmati keindahan Allah melalui logika dan tanda-tanda”) , maka kedalaman neraka menjadi sangat sangat menggiriskan

Secara matematis kedalaman itu menjadi : 23.228.686.172.160 km X 100.000.000.000.000 = 232.286.861.721.600.000.000.000.000 km

Sebagai gambaran, bila 1 trilyun atau 1000 milyar manusia sekalipun dimasukkan kedalam neraka sekaligus maka tiap orangnya masih bisa diberi jatah ruang lebih dari 200 trilyun kilometer persegi .

Sehingga kalau seseorang dimasukkan ke dalam neraka, jangan harap mudah menemukan teman ‘senasib dan sependeritaan’ , apalagi sampai berbagi duka dan saling memberi dorongan agar ‘tabah’.

Tulisan ini belum lagi membicarakan dahsyatnya suhu neraka serta ragam siksaan dan kualitas siksaannya. Sebagai gambaran singkat Rasulullah saw pernah berkata, andaikata dari dalam neraka yang dahsyat itu menerobos keluar apinya meskipun hanya sebesar lubang jarum saja, maka hancur binasalah bumi kita. Tulisan ini juga belum menggambarkan bahwa di neraka tubuh manusia tidak langsung gosong atau meleleh tapi memuai dahulu. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa ada gigi seorang kafir yang akan menjadi sebesar gunung Uhud di neraka. Hadits lain meriwayatkan bahwa tebal kulit manusia di neraka akan (memuai) hingga setebal 3 hari perjalanan, jauh lebih tebal dibanding kulit sapi yang digoreng dan memuai hingga setebal kerupuk kulit. Inilah mungkin hikmah kenapa jatah ruang neraka untuk setiap penghuninya diberi kapasitas yang sedemikian luasnya.

Setelah kita membayangkan keindahan surga yang ternyata tidak bisa dibayangkan saking dahsyatnya, dan setelah kita berhitung matematis tentang kedalaman neraka, yang ternyata juga tidak bisa kita bayangkan betapa mengerikan kedalaman neraka itu, masihkah kita mau menunda amal akhirat kita untuk suatu masalah dunia yang ternyata sangat kecil dan tidak abadi ini.

Ya Allah, berilah kami kebaikan di atas dunia ini, dan berilah kami kebaikan di akhirat nanti, hindarkanlah kami dari siksaMu yang amat pedih…

***

Sedekah Yang Menghajikan

haji

Pak Asep membenahi barang dagangannya, guratan-guratan tua di kening, wajahnya tetap kelihatan bening. Sejak setahun lalu kopiah putih selalu menghiasi kepalanya, menutupi rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih. “Alhamdulillah Jang, kadang sepi kadang ramai,” katanya menceritakan usahanya dengan bibir terus tersenyum. Dalam usia yang ke 67 ini Pak Asep ditemani istrinya mengurus warung kelontong berukuran 3 kali 4 meter.

Pak Asep dan istrinya belum dikaruniai anak. Diusia yang senja mereka terlihat menikmati hidup. Toko kelontong yang ada di depan rumahnya yang ada di sebuah gang kecil di Bandung itu jadi satu-satunya penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari. “Ini kenang-kenangan dari Mekkah, Jang,” menunjuk kopiah putihnya. Pak Asep dan Istrinya memang pergi ke tanah suci tahun lalu. “Dari dulu Bapak pingin pergi haji”, lanjutnya.

Hal ini membuatnya berkomitmen untuk menabung sedikit demi sedikit dari hasil penjualan barang-barang di warungya. “Saya mah pokoknya niat pingin sekali pergi ke tanah suci,” lanjutnya. Bertahun-tahun sudah tabungannya, sesekali dihitungnya sekedar untuk makin menguatkan keinginannya. “Kurang beberapa juta lagi, Nyi, cukup da, beberapa tahun lagi, gak lama,” katanya pada istrinya. Senyum Pak Asep dan Istrinya merekah.

Terbayang ia bersama istrinya akan berthawaf keliling mengucapkan talbiah, “Labbaik Allaahumma Labbaik”. Saat-saat yang diimpikannya bertahun-tahun, untuk menyempurnakan rukun Islam, rindu di hari tuanya mendekat kepada Sang Khalik .

Dalam hari-hari semangatnya berhaji itu, tiba-tiba sampai di telinganya sebuah kabar tentang tetangganya masuk rumah sakit dan harus dioperasi. Para tetangga sebenarnya sudah iuran membantu meringankan biaya rumah sakitnya. Tapi biaya operasi memang mahal. Pak Asep tersentak……….

Terbayang olehnya uang tabungannya untuk biaya haji dapat membantu operasi te tangganya yang tak berpunya. “Haji ibadah, sedekah juga ibadah, gak apa sedekah kan uang kita untuk berobat, Ki,” istrinya mendukung uang tabungannya bertahun-tahun itu diberikan untuk biaya tetangganya yang dioperasi di rumah sakit.

“Kang, terima ini ya, rezeki mah dari Allah, mungkin emang lewat saya, biarlah ini jadi jalan makin yang mendekatkan aku pada Allooh, moga-moga cepet sembuh, kang,” katanya sambil menyerahkan amplop tebal uang tabungannya yang berbilang tahun itu. Dipeluknya Pak Asep dengan erat.

Sedikit yang tahu ketulusan Pak Asep dan Istrinya ini.

Ketika dokter yang merawat temannya ini heran dari mana ia bisa membiayai operasi yang mahal ini, maka sampailah cerita tentang uang tabungan Pak Asep ini. “Boleh saya dikenalkan sama Pak Asep, pak?” sambut sang dokter terharu. Maka ditemuinya Pak Asep dan istrinya. Dan ditemuinya keteduhan seorang dermawan. Raut wajah yang kaya, meski dalam kesederhanaan hidup. “Pak Asep, saya ada rezeki, bolehkan saya ikut mendaftarkan Bapak dan istri pergi haji bersama saya dan keluarga?” Sang dokter menawarkan. Pak Asep dan istriya sejenak berpandangan. Tak kuat lagi menahan haru, dipeluknya dokter dermawan tadi. “Alloh Maha Kaya,” ucapnya lirih di telinga dokter.

(sahabat, menangislah kalau terharu…..).

Maka kakinya kemudian hadir di Baitullah, berhaji, dengan karunia dan rezeki dari Allah. Pak Asep dan istri seakan mereguk hidangan Allah yang sempurna, buah dari kedermawanannya.

Kisah Pak Asep mungkin saja banyak terjadi kehidupan kita. Pak Asep-Pak Asep lain pun telah menggores hikmah kehidupannya sendiri. Atau bahkan telah pula sering kita alami sendiri. Dan selalu saja sedekah akan menyuburkan hati kita, memberkahi kehidupan kita. Maka mengapa kita menunda sedekah kita ?

Orang-Orang Yang Didoakan Oleh Para Malaikat

masjid-siluet

Insya Allah berikut inilah orang-orang yang didoakan oleh para malaikat :

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”. (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’” (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)

3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan” (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf” (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.

Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu”. (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.

Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia’” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7. Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.

Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.

Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang-orang yang berinfak.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa ) kepada orang-orang yang sedang makan sahur” Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa “sunnah” (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh” (Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.

Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

***

Sumber Tulisan Oleh :

Syaikh Dr. Fadhl Ilahi, Orang-Orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

9 Gadis yang Tidak Dinikahi Laki-laki

gadisayu

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh jurusan psikologi (ilmu jiwa) pada Fakultas Adab (sastra) di Universitas Zaqaqiq, Mesir dengan judul: “Kepribadian Remaja Putri, Tata Cara kesiapan Jiwa dalam Menghadapi Pernikahan, dan Masa Perubahan Jiwa Pasca Nikah Secara Khusus” menyimpulkan ada 9 tipe gadis yang tidak diminati oleh para pemuda:

Pertama: Gadis Pencemburu

Pencemburu adalah sifat pertama kali yang dihindari oleh para pemuda dari calon istri-istri mereka. Cemburu disini bermakna keraguan. Para pemuda itu menuntut adanya sebagian sifat cemburu yang memperkuat ikatan cinta, akan tetapi mereka menolak ketidak percayaan (keraguan) yang menimbulkan petaka dalam kehidupan rumah tangga. Mereka menginginkan kepercayaan dari para istri mereka, dan tidak suka jika mereka menceritakan atau mengungkap setiap langkah yang dilaluinya.

Kedua: Gadis Egois, sok menjadi ratu

Adapun gadis yang kedua adalah gadis yang egois, ingin berkuasa, menginginkan dari suaminya segenap kecintaan, ketundukan, dan kepasrahan hanya kepadanya saja. Dia akan marah jika melihat suaminya lebih mementingkan orang lain atau mencintai selain dirinya. Seperti cemburu kepada kerabat suami, atau teman-temannya. Perbuatan ini kadang menimbulkan banyak permasalahan. Dengan sikap seperti itu, dia telah mempersempit kepribadian suami, dan menyebabkan timbulnya permasalahan dengan kerabatnya. Dengan sikap seperti itu, dia telah menjadikan suami benci dengan kehidupan rumah tangganya. Sikap yang demikian tidak termasuk cinta, tetapi ambisi kepemilikan dan penguasaan. Maka wajib bagi gadis ini untuk menyadari bahwa mereka adalah kerabat suami, yang tidak mungkin ia bebas lepas dari mereka, begitu pula sebaliknya mereka tidak mungkin bebas lepas darinya.

Ketiga: Gadis Durhaka

Yaitu istri yang tidak ridha dengan kehidupannya. Dia senantiasa membangkang pada suami dan menggerutu tentang segala sesuatu. Dia tidak bersikap qonaah (menerima apa adanya), senantiasa menginginkan tambahan dan lebih. Dengan sikap seperti ini, dia telah menekan suami hingga mau memenuhi keinginannya. Dia tidak peduli darimana sang suami bisa memenuhi berbagai tuntutan itu, dan bagaimana ia bisa mendapatkan harta tersebut. Dia adalah jenis istri perusak. Dia hanya mencari untuk diri dan kebahagiannya sendiri, terutama harta, bukan cinta. Dia tidak menjaga suami atau rumahnya. Biasanya keadaan yang seperti ini berakhir dengan perceraian.

Keempat: Gadis yang cuek dan masa bodoh

Gadis ini tidak layak disebut sebagai seorang istri. Dia sama sekali tidak menaruh perhatian pada suami, tidak juga pada rumahnya. Tidak berusaha memenuhi kebutuhan suami atau permintaannya. Di sini sang suami merasa bahwa si istri tidak mencintainya, atau tidak menganggapnya. Kadang yang demikian membuat sang suami bersikap kasar kepada istri sebagai usaha untuk meluruskannya. Akan tetapi jika sang istri memiliki sifat seperti ini, maka akan sulit merubahnya. Hal ini menjadikan sang suami tidak menaruh perhatian terhadap istri, tidak mesra dengannya dalam segala hal, dan bisa menyebabkan perpisahan. Maka mulai sekarang seharusnya istri mulai memberikan perhatian terhadap suami.

Kelima: Gadis yang Kekanak-kanakkan

Yaitu gadis yang senantiasa tergantung pada ibunya, dan terus terikat dengannya, bersandar kepadanya dalam segala hal. Dia bertindak dengan malu, tidak mampu mengemban tanggung jawab. Kebanyakan ibunyalah yang memberikan keputusan dan berkuasa pada seluruh urusan rumah. Maka sang putripun bersandar kepadanya dalam segala hal seperti apa yang dia kerjakan saat masih kanak-kanak. Dengan sifat seperti itu, dia tidak layak menjadi seorang ibu bagi putra-putranya, dikarenakan putra-putranya akan menjadi pribadi-pribadi yang terputus, tidak utuh. Adapun sang suami, maka ia merasa seolah-olah telah menikahi ibu mertuanya, karena dialah yang mengatur segala keperluannya. Maka wajib bagi para gadis untuk belajar memikul tanggung jawab dan berbuat secara dewasa.

Keenam: Gadis yang meninggalkan Tugas Rumah Tangga

Kebanyakan gadis seperti ini adalah gadis yang bekerja (wanita karir). Akan tetapi, ada perbedaan antara istri yang bekerja dan istri yang pergi meninggalkan tanggung jawab rumah. Artinya ada banyak istri yang bekerja, tetapi mereka dapat melakukan segenap pekerjaan rumah tangga dan memberikan perhatian terhadap berbagai keperluan suami dan anak-anak mereka. Pekerjaan mereka tidak membuat mereka durhaka terhadap keluarga. Maka istri harus menyeimbangkan antara pekerjaan dengan suami dan anak-anaknya. Janganlah pekerjaan membuat keluarga terhalangi dari perhatian dan kasih sayangnya. Sehingga sang suami merasa kehilangan kemesraan, akhirnya timbullah permasalahan diantara mereka.

Ketujuh: Gadis yang Lemah

Yaitu seorang gadis yang terbiasa pasrah terhadap keadaan di sekitarnya, apakah terhadap keluarga atau teman-temannya. Dia sangat lemah untuk bisa mengambil keputusan dengan dirinya sendiri, tidak berusaha mengadakan musyawarah atau menampakkan pendapat apapun. Kepribadian yang lemah, penurut, dan tidak terbiasa memikul tanggung jawab. Kebanyakan penyebabnya adalah keluarga, yaitu dengan sikap keras sang ayah, dan diamnya ibu. Maka sang suamipun kehilangan teman yang bisa memberikan nasihat, atau masukan-masukan dalam berbagai urusannya.

Kedelapan: Gadis yang membuat was was

Yaitu gadis yang menggambarkan suaminya dengan gambaran yang terburuk. Sebagai contoh, jika suami terkena penyakit mulas, maka sang istri membesar-besarkanny a serta meyakininya bahwa sang suami menderita usus buntu. Jika panas sang suami meningkat dia berkata bahwa dia telah terkena demam. Jika sang suami terlambat, dia berkeyakinan telah terjadi kecelakaan atau terkena sesuatu yang tidak disukai. Istri semacam ini akan mendorong suami untuk selalu was-was dan berkhayal macam-macam serta selalu khawatir.

Kesembilan: Gadis yang Sok Sempurna

Yaitu gadis yang berambisi untuk mengerjakan sesuatu dengan benar, dan terlalu berlebih-lebihan di dalamnya sehingga sang suami dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya terkadang merasa jengkel. Sifat seperti itu membuatnya fanatik buta dalam kehidupan rumah tangga. Dia menginginkan kesempurnaan dalam segala hal. Jika pergi salah seorang teman maka harus membawa hadiah berharga dan mahal dibungkus dengan bungkus yang mewah dan seterusnya. Sifat seperti ini dimungkinkan akan membuat suami melakukan respon yang mungkin bisa menjadi seorang laki-laki yang keras dan menolak apa saja yang dilakukan istri, sekalipun perbuatan itu untuk kepentingannya, dan dia tidak lagi mementingkan keridhaan istrinya

Sekarang, carilah untuk dirimu sendiri wahai saudariku, sifat manakah dari kesembilan sifat tersebut yang kamu miliki? Kemudian bersihkanlah dari dirimu agar kehidupan rumah tanggamu selamat dan bahagia.

***